Selasa, 31 Juli 2012

Implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional serta Dampaknya Terhadap Negara


            Sistem jaminan sosial di Indonesia sedang mengalami proses perubahan yang cukup signifikan. Dengan tujuan agar sistem yang ada dapat lebih efektif dalam memberikan pelayanan yang baik kepada penerima manfaat jaminan sosial, juga untuk memperluas cakupan manfaat jaminan sosial ke seluruh pekerja di Indonesia, baik dari sektor formal maupun non-formal.
Jaminan sosial bagi seluruh warga merupakan suatu tanggung jawab pemerintah untuk menjaminnya. Jaminan ini adalah hak bagi setiap warga negara untuk mendapatkannya tanpa diskriminasi, sehingga memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, seperti yang diamanatkan dalam pasal 28 H ayat 3 UUD 1945. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan indeks pembangunan masyarakat Indonesia kedepannya.
Untuk itu dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut dan dalam rangka  upaya memberikan jaminan sosial kepada setiap warga negara, maka pemerintah menganggap perlu diadakan suatu sistem yang mengendalikannya yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Pada 19 Oktober 2004, tercetuslah suatu undang-undang yang mengatur sistem tersebut. Pada saat UU SJSN diundangkan, dibuat suatu acara khusus yang dihadiri oleh menteri-menteri terkait dan tim inti SJSN. Alasannya adalah karena belum banyak pejabat publik yang mengetahui hal tersebut dan yang juga merupakan penjabaran UUD 1945 pasal 34.
Jaminan sosial yang dimaksud adalah salah satu bentuk perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO nomor 102 tahun 1952. Inti dari penyelenggaraan sistem ini adalah sebuah bidang dari kesejahteraan sosial yang memperhatikan perlindungan sosial atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial, termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak, dan lain-lain.

Sistem jaminan sosial ini memiliki beberapa unsur hukum, yakni:
a.      UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002, pasal 5, pasal 20, pasal 28, dan pasal 34.
b.      Deklarasi HAM PBB atau Universal Declaration of Human Rights tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952.
c.       TAP MPR RI No. X/MPR/2001 yang menugaskan kepada Presiden RI untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
d.      UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN.
Sesuai dengan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, yang dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. Dan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.
Undang-undang tersebut diharapkan mampu menggantikan peran program-program jaminan sosial yang telah ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, hal ini disebabkan antara lain karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut.
Jika ditinjau dari segi konsep, manfaat program Jamsosnas tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi jaminan hari tua, asuransi kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Program ini akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswasta. Hal tersebut menjadi alasan mengapa realisasi dari program ini sangat dinantikan oleh golongan pekerja Indonesia yang seyogianya memang sangat membutuhkan suatu sistem yang tepat untuk memberikan jaminan sosial bagi warga negara Indonesia.
Sistem jaminan sosial nasional dibuat sesuai dengan “paradigma tiga pilar” yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Pilar-pilar itu adalah :
1.      Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak mempunyai sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan pokok mereka. Bantuan ini diberikan kepada anggota masyarakat yang terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, pada saat terjadi bencana alam, konflik sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana bantuan ini diambil dari APBN dan dari dana masyarakat setempat.
2.      Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh iuran yang ditarik dari perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh peserta ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan/gaji dan berdasarkan suatu standar hidup minimum yang berlaku di masyarakat.
3.      Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela, yang dapat dibeli oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan sosial lebih tinggi daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran program asuransi sosial wajib. Iuran untuk program asuransi swasta ini berbeda menurut analisis risiko dari setiap peserta.
Ketiga pilar tersebut yang kemudian menjadi landasan pikiran pemerintah tentang perlunya dibuat suatu sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang sesuai dengan amanat UUD 1945. Dan pada dasarnya program Jamsosnas diselenggarakan menurut asas-asas berikut:
a.      asas saling menolong (gotong royong): peserta yang lebih kaya akan membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang mempunyai risiko kecil akan membantu peserta yang mempunyai risiko lebih besar, dan mereka yang sehat akan membantu mereka yang sakit,
b.      asas kepesertaan wajib: seluruh penduduk Indonesia secara bertahap akan diwajibkan untuk berpartisipasi dalam program Jamsosnas,
c.       asas dana amanah (trust fund): dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola oleh beberapa Badan Pengelola Jamsosnas dalam sebuah dana amanah yang akan dipergunakan semaksimal mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh peserta,
d.      asas nirlaba: dana amanah ini harus bersifat nirlaba dan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan jaminan sosial seluruh peserta,
e.      asas keterbukaan, pengurangan risiko, akuntabilitas, efisiensi, dan efektifitas: dasar pengelolaan ini akan digunakan sebagai dasar pengelolaan program Jamsosnas, dan
f.        asas portabilitas: peserta akan terus menjadi anggota program Jamsosnas tanpa memedulikan besar pendapatan dan status kerja peserta, dan akan terus menerima manfaat tanpa memedulikan besar pendapatan dan status keluarga peserta sepanjang memenuhi kriteria tertulis untuk menerima manfaat program tersebut.
Dalam undang-undang (UU) tentang SJSN, telah dijelaskan mengenai beberapa jenis program jaminan sosial yang hendak diselenggarakan, meliputi :
1.      Jaminan Kesehatan.
2.      Jaminan Kecelakaan Kerja.
3.      Jaminan Hari Tua
4.      Jaminan Pensiun.
5.      Jaminan Kematian.
Selain itu, untuk menjamin kelangsungan program jaminan sosial, pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Hal ini, antara lain dapat dilakukan dengan melalui penggalian sumber-sumber dana yang lain, ketentuan mengenai iuran dan manfaat, termasuk memberikan subsidi, apabila diperlukan.
1.      Jaminan Kesehatan (JK)
Program Jaminan Kesehatan (JK) diselenggarakan secara nasional yang didasari prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Prinsip asuransi sosial meliputi kepesertaan yang bersifat wajib dan non-diskriminatif, iuran berdasarkan persentase pendapatan menjadi beban bersama antara pemberi dan penerima kerja, sehingga ada kegotong-royongan antara yang kaya-miskin, risiko sakit tinggi-rendah, serta tua-muda dengan manfaat pelayanan medik yang sama (prinsip ekuitas) dan bersifat komprehensif. Adapun untuk pelayanan non-medik, harus disesuaikan dengan besaran iuran yang diberikan.
Bagi kelompok “non-formal” dan “penerima bantuan iuran”, iuran ditetapkan berdasar nilai nominal. Bagi “penerima bantuan iuran”, iuran dibayar oleh pemerintah.
Selanjutnya , dalam penyelenggaraan program JK, akan diterapkan prinsip-prinsip “managed healthcare concept“, Prospective Payment System (PPS), serta standar dan plafon harga obat. Hal ini untuk menjamin tumbuhnya sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang efisien dan efektif, sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan, antara lain melalui pengenalan konsep dokter keluarga, tarif paket, sistem rujukan dan sistem wilayah pelayanan, serta DRG’s (Diagnosis Related Groups). Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, juga dapat diterapkan biaya (“cost-sharing”) bagi pelayanan kesehatan yang akan ditetapkan kemudian serta jenis-jenis pelayanan yang tidak menjadi beban BPJS, misalnya yang bersifat kosmetik, makanan, vitamin, suplemen, dan sebagainya.
Dengan ketentuan tersebut, pelaksanaan program JK memerlukan persiapan yang matang, agar kelangsungan program JK dapat terjamin, misalnya :
 1. ketentuan mengenai besaran iuran, harus ditetapkan secara cermat,
 2. penerimaan / pelaksanaan “managed healthcare concept“, Prospective Payment System (PPS) bagi kalangan yang terkait (Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan / healthcare providers dan BPJS),
 3. penahapan cakupan kepesertaan,
 4. sinkronisasi sistem dan penyelenggaraan program JK antara berbagai BPJS, khususnya antara program Jamsostek dan Askes,
 5. capacity-building” BPJS, antara lain meliputi sumber daya manusia, kemampuan manajemen, dan teknologi informasi, dan
 6. membangun jaringan pelayanan kesehatan yang mampu memenuhi ketentuan UU nomor 40 tahun 2004, untuk melayani peserta program JK.

2.      Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK)
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dengan manfaat jaminan kesehatan dan santunan uang yang disebabkan karena sakit akibat kecelakaan kerja. Besarnya iuran ditetapkan sesuai dengan persentase upah dan seluruhnya menjadi beban pemberi kerja. Bagi peserta yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan berdasar jumlah nominal.
Jaminan kesehatan diberikan pada jaringan Pemberi Pelayanan Kesehatan (PPK) yang telah bekerjasama dengan BPJS, sesuai dengan standar yang ditetapkan, selain dalam hal-hal yang sifatnya mendadak atau dimana tidak tersedia jaringan PPK yang bekerjasama dengan BPJS. Besarnya uang tunai yang diterima dan hak ahli waris akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
 Untuk memperluas cakupan peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), pemerintah sudah saatnya melengkapi program jaminan sosial bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI / Polri dengan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
3.      Jaminan Hari Tua ( JHT )
Program Jaminan Hari Tua (JHT) diselenggarakan secara nasional berdasarkan sistem asuransi sosial atau tabungan wajib. Manfaatnya diberikan beberapa tahun sebelum memasuki masa pensiun, meninggal dunia, atau menderita kecacatan total tetap. Iuran ditetapkan berdasarkan persentase upah, serta menjadi beban pekerja dan pemberi kerja. Bagi peserta yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan berdasar angka nominal.
 Sebagian manfaat jaminan hari tua dapat diterima oleh peserta setelah kepesertaan berlangsung selama 10 tahun, yang dalam hal ini akan diatur kemudian dengan Peraturan Pemerintah.
 Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT) adalah seluruh akumulasi dana yang telah disetor ditambah hasil pengembangan dana tersebut. Apabila peserta meniggal dunia, ahli waris peserta berhak menerima manfaat jaminan hari tua.
4.      Jaminan Pensiun (JP)
Jaminan Pensiun (JP) diselenggarakan berdasar prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. Pada dasarnya faedah dari JP merupakan manfaat pasti (defined benefit) yang dimaksudkan untuk dapat mempertahankan kehidupan yang layak disebabkan oleh menurunnya upah/pendapatan atau hilangnya pendapatan. Diberikan setiap bulan kepada peserta ataupun ahli warisnya.
 Iuran ditetapkan berdasar persentase upah/pendapatan, serta menjadi beban pekerja dan pemberi kerja. Bagi pekerja formal swasta, penyelenggaraan Jaminan Pensiun diselenggarakan dengan memperhatikan UU nomor 11 tahun 1992 tentang Dana Pensiun. Dalam hal ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) perlu merumuskan kebijakan penyelenggaraan JP, sehingga penyelenggaraan JP dapat diselaraskan dengan pelaksanaan UU nomor 11 tahun 1992 serta UU nomor 13 tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Selain itu, juga harus memperhatikan perkembangan ekonomi secara umum dan menyeluruh, khususnya kemampuan ekonomi pemberi kerja.
 Sedangkan penyelenggaraan JP bagi PNS, TNI, dan POLRI, perubahan sistem dari “pay as you go” menjadi “fully funded” juga perlu memperoleh pertimbangan yang cermat.
5.      Jaminan Kematian
Jaminan Kematian diselenggarakan berdasar asuransi sosial. Tujuannya adalah untuk memberi kompensasi ketika peserta meninggal dunia kepada ahli warisnya. Iuran dibayar oleh pemberi kerja, sedangkan manfaat berupa uang tunai diberikan 3 hari setelah bukti-bukti diterima BPJS dalam jumlah nominal yang ditetapkan.
Penyelenggaraan program Jaminan Sosial, harus melibatkan Pemerintah Daerah. Hal ini juga untuk dapat memenuhi ketentuan UU nomor 32 tahun 2004. Keterlibatan Pemerintah Daerah diperlukan untuk menjamin penyelenggaraan program jaminan sosial bagi penduduk di daerah terkait agar sesuai dengan ketentuan UU nomor 40 tahun 2004, tetapi juga untuk memenuhi UU nomor 32 tahun 2004. Hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang akan diterbitkan untuk penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
Peran Pemerintah Daerah itu, antara lain:
1.   pengawasan penyelenggaraan program SJSN, agar sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan, misalnya standar, kualitas, dan tarif . Antara lain, pada tingkat daerah dapat dibentuk sebuah Badan Pengawas SJSN Daerah,
2.   menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk “penerima bantuan iuran” ataupun masyarakat yang lain,
3.   penentuan peserta “Penerima Bantuan Iuran”,
4.   penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya sarana kesehatan,
5.   mengusulkan pemanfaatan / investasi dana SJSN di daerah terkait, dan
6.   saran/usul kebijakan penyelenggaraan SJSN.
Dalam mengimplementasikan program SJSN di lapangan, tentu saja terdapat kendala teknis maupun non-teknis, salah satunya adalah kondisi geografis yang harus menjadi pemikiran pemerintah. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terdapat banyak rakyat di daerah yang masuk dalam kategori masyarakat pedalaman di negeri ini. Sehingga dikhawatirkan manfaat dari program Jamsosnas tidak merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu biaya yang digunakan untuk mendanai program Jamsosnas ini cukup besar bagi pengusaha dan pekerja formal yang harus membayar kontribusi agar dapat menikmati manfaatnya. Untuk program JK, pekerja formal harus membayar pajak sekitar enam persen dari gaji kotor mereka, yang dibagi rata antara pekerja dan pihak yang mempekerjakannya. Kontribusi pekerja sektor informal dan wiraswastawan akan ditentukan di kemudian hari. Hal ini juga berlaku untuk kontribusi pekerja untuk program jaminan hari tua.
Juga timbul pertanyaan atas rencana pemerintah untuk menyubsidi kepesertaan masyarakat yang masuk kategori kurang mampu. Menurut UU ini, warga negara Indonesia yang mempunyai pendapatan dibawah UMR daerah mereka akan dikategorikan sebagai warga yang pendapatannya kurang, dengan demikian berhak mendapat subsidi dari pemerintah. Namun, masih banyak warga negara kita yang mempunyai pendapatan di bawah UMR setempat, terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Apabila terlalu banyak penduduk Indonesia berhak menerima subsidi ini, maka anggaran belanja pemerintah (APBN) dapat mengalami defisit, dan hal ini akan mengancam kelanjutan  program Jamsosnas ini di masa depan.
Hal Iain yang harus menjadi perhatian pemerintah dalam mewujudkan SJSN terkait hal pelayanan kesehatan adalah masalah distribusi tenaga medis dan pengawasan. Distribusi tenaga medis harus sudah mulai disiapkan dari sekarang, sehingga sebagai salah satu pilar pelaksana program ini telah tersedia saat SJSN operasional.  
            Program ini juga kurang memperhatikan permasalahan penuaan populasi yang diperkirakan akan mulai terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Perkiraan demografis menunjukkan bahwa populasi Indonesia usia 55 tahun keatas akan meningkat secara drastis dalam beberapa dekade berikut, dari sekitar 10% dari seluruh penduduk pada tahun 2000 menjadi sekitar 30% dari seluruh penduduk pada tahun 2050. 
            Kombinasi antara usia pensiun yang relatif muda (55-58 tahun), jumlah waktu kerja yang relatif singkat sebelum  berhak mendapat pensiun penuh (10 tahun) dan sebuah populasi yang menua dengan cukup drastis merupakan situasi yang kurang menguntungkan untuk program pensiun publik manapun. Jika kurang berhati-hati dalam hal ini, program Jamsosnas akan mengalami nasib yang sama dengan program pensiun publik lainnya di dunia karena menjadi tidak  sustainable secara finansial.
Terakhir, program Jamsosnas juga kurang memperhatikan peran kompetisi dalam penyediaan manfaat jaminan sosial di Indonesia, karena menurut UU ini, hal tersebut menjadi tanggungjawab tunggal pemerintah. Hal ini tetap ditempuh meskipun sebagian besar pekerja sektor formal telah memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan hari tua cukup baik dari perusahaan tempat mereka bekerja. Dengan adanya monopoli ini, pekerja mungkin dapat kehilangan jaminan kesehatan dan jaminan hari tua yang diperoleh mereka sebelumnya, yang mungkin manfaatnya lebih besar daripada manfaat program Jamsosnas. Pengalaman dari banyak negara lain di dunia (terutama negara-negara Eropa dan Amerika Latin) yang mempunyai program jaminan sosial  sangat komprehensif untuk warganegaranya menunjukkan bahwa program jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah sering mengalami kegagalan, karena adanya perubahan demografis penduduk, manfaat program yang terlalu besar dan membahayakan kesinambungan fiskal  anggaran pemerintah, dan tata kelola  program  yang kurang baik.  Beberapa negara (contohnya: Chile, Meksiko, Polandia, Inggris, Swedia, dan Australia) yang telah menempuh jalur alternatif lain dalam menyelenggarakan program jaminan sosial di negara mereka, terutama melalui jalur reformasi program jaminan sosial nasionalnya.
Jaminan sosial bagi seluruh warga merupakan suatu tanggung jawab pemerintah untuk menjaminnya. Jaminan ini adalah hak bagi setiap warga negara untuk mendapatkannya tanpa diskriminasi, sehingga memungkinkan pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, seperti yang diamanatkan dalam pasal 28 H ayat 3 UUD 1945. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan indeks pembangunan masyarakat Indonesia kedepannya.
Untuk itu dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut dan dalam rangka  upaya memberikan jaminan sosial kepada setiap warga negara, maka pemerintah menganggap perlu diadakan suatu sistem yang mengendalikannya yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Undang-undang tentang SJSN diharapkan mampu menggantikan peran program-program jaminan sosial yang telah ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, hal ini disebabkan antara lain karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut.
Dengan mengetahui informasi tentang mekanisme SJSN, manfaat yang dapat diperoleh, serta dampak yang mungkin dapat ditimbulkan. Sangat disarankan agar pemerintah dapat menyusun strategi dan langkah tepat dalam rangka mempercepat proses realisasi Program SJSN yang seyogyanya dilaksanakan paling lambat lima tahun setelah UU tersebut diundangkan oleh DPR, atau semestinya sudah harus terealisasi pada kurun waktu 2009 - 2010. Awal tahun ini (tahun 2011, red) merupakan kesempatan untuk melakukan koreksi dan pengkajian lebih mendalam tentang SJSN, sekaligus sebagai dorongan motivasi bagi pemerintah untuk lebih proaktif dalam memberikan solusi terbaik bagi pelaksanaan SJSN kedepan termasuk upaya meminimalisir dampak negatif dari program tersebut, sehingga diharapkan mampu memberi manfaat yang berarti dalam bidang jaminan sosial bagi rakyat Indonesia.

Baca Artikel Lainnya:

Tidak ada komentar: