Sistem jaminan sosial di Indonesia
sedang mengalami proses perubahan yang cukup signifikan. Dengan tujuan agar
sistem yang ada dapat lebih efektif dalam memberikan pelayanan yang baik kepada
penerima manfaat jaminan sosial, juga untuk memperluas cakupan manfaat jaminan
sosial ke seluruh pekerja di Indonesia, baik dari sektor formal maupun non-formal.
Jaminan sosial bagi seluruh warga merupakan suatu tanggung
jawab pemerintah untuk menjaminnya. Jaminan ini adalah hak bagi setiap warga
negara untuk mendapatkannya tanpa diskriminasi, sehingga memungkinkan pengembangan
diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, seperti yang diamanatkan
dalam pasal 28 H ayat 3 UUD 1945. Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan
indeks pembangunan masyarakat Indonesia kedepannya.
Untuk itu dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut
dan dalam rangka upaya memberikan
jaminan sosial kepada setiap warga negara, maka pemerintah menganggap perlu
diadakan suatu sistem yang mengendalikannya yaitu Sistem Jaminan Sosial Nasional
(SJSN).
Pada 19 Oktober 2004, tercetuslah suatu undang-undang yang
mengatur sistem tersebut. Pada saat UU SJSN diundangkan, dibuat suatu acara
khusus yang dihadiri oleh menteri-menteri terkait dan tim inti SJSN. Alasannya
adalah karena belum banyak pejabat publik yang mengetahui hal tersebut dan yang
juga merupakan penjabaran UUD 1945 pasal 34.
Jaminan sosial yang dimaksud adalah salah satu bentuk
perlindungan sosial yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warga negaranya
untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana dalam deklarasi
PBB tentang HAM tahun 1948 dan konvensi ILO nomor 102 tahun 1952. Inti dari
penyelenggaraan sistem ini adalah sebuah bidang dari kesejahteraan sosial yang
memperhatikan perlindungan sosial atau perlindungan terhadap kondisi yang
diketahui sosial, termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran,
keluarga dan anak-anak, dan lain-lain.
Sistem jaminan sosial ini memiliki beberapa unsur hukum,
yakni:
a.
UUD 1945 dan perubahannya tahun 2002, pasal 5, pasal 20,
pasal 28, dan pasal 34.
b.
Deklarasi HAM PBB atau Universal
Declaration of Human Rights tahun 1948 dan konvensi ILO No.102 tahun 1952.
c.
TAP MPR RI No. X/MPR/2001 yang menugaskan kepada Presiden RI
untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional.
d.
UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN.
Sesuai dengan UU No. 40 tahun 2004 tentang SJSN, yang
dimaksud jaminan sosial adalah salah satu bentuk perlindungan sosial untuk
menjamin seluruh rakyat agar dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang
layak. Dan Sistem Jaminan Sosial Nasional adalah suatu tata cara penyelenggaraan
program jaminan sosial oleh beberapa badan penyelenggaraan jaminan sosial.
Undang-undang tersebut diharapkan mampu menggantikan peran program-program
jaminan sosial yang telah ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri)
yang dinilai kurang berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada
penggunanya, hal ini disebabkan antara lain karena jumlah pesertanya kurang,
jumlah nilai manfaat program kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola
manajemen program tersebut.
Jika ditinjau dari segi konsep, manfaat program Jamsosnas
tersebut cukup komprehensif, yaitu meliputi jaminan hari tua, asuransi
kesehatan nasional, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kematian. Program ini
akan mencakup seluruh warga negara Indonesia, tidak peduli apakah mereka
termasuk pekerja sektor formal, sektor informal, atau wiraswasta. Hal tersebut
menjadi alasan mengapa realisasi dari program ini sangat dinantikan oleh
golongan pekerja Indonesia yang seyogianya memang sangat membutuhkan suatu
sistem yang tepat untuk memberikan jaminan sosial bagi warga negara Indonesia.
Sistem jaminan sosial nasional dibuat sesuai dengan
“paradigma tiga pilar” yang direkomendasikan oleh Organisasi Perburuhan
Internasional (ILO). Pilar-pilar itu adalah :
1.
Program bantuan sosial untuk anggota masyarakat yang tidak
mempunyai sumber keuangan atau akses terhadap pelayanan yang dapat memenuhi
kebutuhan pokok mereka. Bantuan ini diberikan kepada anggota masyarakat yang
terbukti mempunyai kebutuhan mendesak, pada saat terjadi bencana alam, konflik
sosial, menderita penyakit, atau kehilangan pekerjaan. Dana bantuan ini diambil
dari APBN dan dari dana masyarakat setempat.
2.
Program asuransi sosial yang bersifat wajib, dibiayai oleh
iuran yang ditarik dari perusahaan dan pekerja. Iuran yang harus dibayar oleh
peserta ditetapkan berdasarkan tingkat pendapatan/gaji dan berdasarkan suatu
standar hidup minimum yang berlaku di masyarakat.
3.
Asuransi yang ditawarkan oleh sektor swasta secara sukarela,
yang dapat dibeli oleh peserta apabila mereka ingin mendapat perlindungan
sosial lebih tinggi daripada jaminan sosial yang mereka peroleh dari iuran
program asuransi sosial wajib. Iuran untuk program asuransi swasta ini berbeda
menurut analisis risiko dari setiap peserta.
Ketiga pilar tersebut yang kemudian menjadi landasan pikiran
pemerintah tentang perlunya dibuat suatu sistem jaminan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia yang sesuai dengan amanat UUD 1945. Dan pada dasarnya program
Jamsosnas diselenggarakan menurut asas-asas berikut:
a.
asas saling menolong (gotong royong): peserta yang lebih
kaya akan membantu peserta yang kurang mampu, peserta yang mempunyai risiko
kecil akan membantu peserta yang mempunyai risiko lebih besar, dan mereka yang
sehat akan membantu mereka yang sakit,
b.
asas kepesertaan wajib: seluruh penduduk Indonesia secara
bertahap akan diwajibkan untuk berpartisipasi dalam program Jamsosnas,
c.
asas dana amanah (trust
fund): dana yang dikumpulkan dari peserta akan dikelola oleh beberapa Badan
Pengelola Jamsosnas dalam sebuah dana amanah yang akan dipergunakan semaksimal
mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh peserta,
d.
asas nirlaba: dana amanah ini harus bersifat nirlaba dan
dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan jaminan sosial seluruh peserta,
e.
asas keterbukaan, pengurangan risiko, akuntabilitas,
efisiensi, dan efektifitas: dasar pengelolaan ini akan digunakan sebagai dasar
pengelolaan program Jamsosnas, dan
f.
asas portabilitas: peserta akan terus menjadi anggota
program Jamsosnas tanpa memedulikan besar pendapatan dan status kerja peserta,
dan akan terus menerima manfaat tanpa memedulikan besar pendapatan dan status
keluarga peserta sepanjang memenuhi kriteria tertulis untuk menerima manfaat
program tersebut.
Dalam undang-undang (UU) tentang SJSN, telah dijelaskan
mengenai beberapa jenis program jaminan sosial yang hendak diselenggarakan,
meliputi :
1.
Jaminan Kesehatan.
2.
Jaminan Kecelakaan Kerja.
3.
Jaminan Hari Tua
4.
Jaminan Pensiun.
5.
Jaminan Kematian.
Selain itu, untuk menjamin kelangsungan program jaminan
sosial, pemerintah dapat melakukan tindakan-tindakan khusus guna menjamin
terpeliharanya tingkat kesehatan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Hal ini, antara lain dapat dilakukan dengan melalui penggalian sumber-sumber
dana yang lain, ketentuan mengenai iuran dan manfaat, termasuk memberikan
subsidi, apabila diperlukan.
1. Jaminan Kesehatan
(JK)
Program Jaminan Kesehatan (JK) diselenggarakan secara
nasional yang didasari prinsip asuransi sosial dan ekuitas. Prinsip asuransi
sosial meliputi kepesertaan yang bersifat wajib dan non-diskriminatif, iuran
berdasarkan persentase pendapatan menjadi beban bersama antara pemberi dan
penerima kerja, sehingga ada kegotong-royongan antara yang kaya-miskin, risiko
sakit tinggi-rendah, serta tua-muda dengan manfaat pelayanan medik yang sama
(prinsip ekuitas) dan bersifat komprehensif. Adapun untuk pelayanan non-medik, harus
disesuaikan dengan besaran iuran yang diberikan.
Bagi kelompok “non-formal” dan “penerima bantuan iuran”,
iuran ditetapkan berdasar nilai nominal. Bagi “penerima bantuan iuran”, iuran
dibayar oleh pemerintah.
Selanjutnya , dalam penyelenggaraan program JK, akan
diterapkan prinsip-prinsip “managed
healthcare concept“, Prospective
Payment System (PPS), serta standar dan plafon harga obat. Hal ini untuk
menjamin tumbuhnya sistem pelayanan dan pembiayaan kesehatan yang efisien dan
efektif, sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan, antara lain melalui pengenalan
konsep dokter keluarga, tarif paket, sistem rujukan dan sistem wilayah
pelayanan, serta DRG’s (Diagnosis Related
Groups). Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan, juga dapat diterapkan biaya
(“cost-sharing”) bagi pelayanan kesehatan yang akan ditetapkan kemudian serta
jenis-jenis pelayanan yang tidak menjadi beban BPJS, misalnya yang bersifat
kosmetik, makanan, vitamin, suplemen, dan sebagainya.
Dengan ketentuan tersebut, pelaksanaan program JK memerlukan
persiapan yang matang, agar kelangsungan program JK dapat terjamin, misalnya :
1. ketentuan
mengenai besaran iuran, harus ditetapkan secara cermat,
2. penerimaan
/ pelaksanaan “managed healthcare concept“,
Prospective Payment System (PPS) bagi
kalangan yang terkait (Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan / healthcare providers dan BPJS),
3. penahapan
cakupan kepesertaan,
4. sinkronisasi
sistem dan penyelenggaraan program JK antara berbagai BPJS, khususnya antara
program Jamsostek dan Askes,
5. “capacity-building” BPJS, antara lain meliputi sumber daya manusia, kemampuan
manajemen, dan teknologi informasi, dan
6. membangun
jaringan pelayanan kesehatan yang mampu memenuhi ketentuan UU nomor 40 tahun 2004,
untuk melayani peserta program JK.
2. Jaminan Kecelakaan Kerja
(JKK)
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) diselenggarakan secara nasional
berdasarkan prinsip asuransi sosial dengan manfaat jaminan kesehatan dan
santunan uang yang disebabkan karena sakit akibat kecelakaan kerja. Besarnya
iuran ditetapkan sesuai dengan persentase upah dan seluruhnya menjadi beban
pemberi kerja. Bagi peserta yang tidak menerima upah, iuran ditetapkan berdasar
jumlah nominal.
Jaminan kesehatan diberikan pada jaringan Pemberi Pelayanan
Kesehatan (PPK) yang telah bekerjasama dengan BPJS, sesuai dengan standar yang
ditetapkan, selain dalam hal-hal yang sifatnya mendadak atau dimana tidak
tersedia jaringan PPK yang bekerjasama dengan BPJS. Besarnya uang tunai yang
diterima dan hak ahli waris akan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Untuk memperluas
cakupan peserta Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), pemerintah sudah saatnya
melengkapi program jaminan sosial bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI /
Polri dengan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK).
3. Jaminan Hari Tua (
JHT )
Program Jaminan Hari Tua (JHT) diselenggarakan secara
nasional berdasarkan sistem asuransi sosial atau tabungan wajib. Manfaatnya
diberikan beberapa tahun sebelum memasuki masa pensiun, meninggal dunia, atau menderita
kecacatan total tetap. Iuran ditetapkan berdasarkan persentase upah, serta menjadi
beban pekerja dan pemberi kerja. Bagi peserta yang tidak menerima upah, iuran
ditetapkan berdasar angka nominal.
Sebagian manfaat
jaminan hari tua dapat diterima oleh peserta setelah kepesertaan berlangsung
selama 10 tahun, yang dalam hal ini akan diatur kemudian dengan Peraturan Pemerintah.
Manfaat Jaminan Hari
Tua (JHT) adalah seluruh akumulasi dana yang telah disetor ditambah hasil
pengembangan dana tersebut. Apabila peserta meniggal dunia, ahli waris peserta
berhak menerima manfaat jaminan hari tua.
4. Jaminan Pensiun (JP)
Jaminan Pensiun (JP) diselenggarakan berdasar prinsip asuransi
sosial atau tabungan wajib. Pada dasarnya faedah dari JP merupakan manfaat
pasti (defined benefit) yang
dimaksudkan untuk dapat mempertahankan kehidupan yang layak disebabkan oleh
menurunnya upah/pendapatan atau hilangnya pendapatan. Diberikan setiap bulan
kepada peserta ataupun ahli warisnya.
Iuran ditetapkan
berdasar persentase upah/pendapatan, serta menjadi beban pekerja dan pemberi
kerja. Bagi pekerja formal swasta, penyelenggaraan Jaminan Pensiun
diselenggarakan dengan memperhatikan UU nomor 11 tahun 1992 tentang Dana
Pensiun. Dalam hal ini, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) perlu merumuskan
kebijakan penyelenggaraan JP, sehingga penyelenggaraan JP dapat diselaraskan
dengan pelaksanaan UU nomor 11 tahun 1992 serta UU nomor 13 tahun 2003 tentang
Tenaga Kerja. Selain itu, juga harus memperhatikan perkembangan ekonomi secara
umum dan menyeluruh, khususnya kemampuan ekonomi pemberi kerja.
Sedangkan
penyelenggaraan JP bagi PNS, TNI, dan POLRI, perubahan sistem dari “pay as you go” menjadi “fully funded” juga perlu memperoleh
pertimbangan yang cermat.
5. Jaminan Kematian
Jaminan Kematian diselenggarakan berdasar asuransi sosial.
Tujuannya adalah untuk memberi kompensasi ketika peserta meninggal dunia kepada
ahli warisnya. Iuran dibayar oleh pemberi kerja, sedangkan manfaat berupa uang
tunai diberikan 3 hari setelah bukti-bukti diterima BPJS dalam jumlah nominal
yang ditetapkan.
Penyelenggaraan program Jaminan Sosial, harus melibatkan
Pemerintah Daerah. Hal ini juga untuk dapat memenuhi ketentuan UU nomor 32
tahun 2004. Keterlibatan Pemerintah Daerah diperlukan untuk menjamin
penyelenggaraan program jaminan sosial bagi penduduk di daerah terkait agar
sesuai dengan ketentuan UU nomor 40 tahun 2004, tetapi juga untuk memenuhi UU nomor
32 tahun 2004. Hal ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah yang akan
diterbitkan untuk penyelenggaraan program Jaminan Sosial.
Peran Pemerintah Daerah itu, antara lain:
1. pengawasan penyelenggaraan program SJSN, agar sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan, misalnya standar, kualitas, dan tarif . Antara
lain, pada tingkat daerah dapat dibentuk sebuah Badan Pengawas SJSN Daerah,
2. menyediakan anggaran tambahan untuk iuran, baik untuk “penerima
bantuan iuran” ataupun masyarakat yang lain,
3. penentuan peserta “Penerima Bantuan Iuran”,
4. penyediaan/pengadaan dan pengelolaan sarana penunjang, misalnya
sarana kesehatan,
5. mengusulkan pemanfaatan / investasi dana SJSN di daerah terkait,
dan
6. saran/usul kebijakan penyelenggaraan SJSN.
Dalam mengimplementasikan program
SJSN di lapangan, tentu saja terdapat kendala teknis maupun non-teknis, salah
satunya adalah kondisi geografis yang harus menjadi pemikiran pemerintah.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, terdapat banyak rakyat di daerah yang
masuk dalam kategori masyarakat pedalaman di negeri ini. Sehingga dikhawatirkan
manfaat dari program Jamsosnas tidak merata bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selain itu biaya yang digunakan
untuk mendanai program Jamsosnas ini cukup besar bagi pengusaha dan pekerja
formal yang harus membayar kontribusi agar dapat menikmati manfaatnya. Untuk
program JK, pekerja formal harus membayar pajak sekitar enam persen dari gaji
kotor mereka, yang dibagi rata antara pekerja dan pihak yang mempekerjakannya.
Kontribusi pekerja sektor informal dan wiraswastawan akan ditentukan di
kemudian hari. Hal ini juga berlaku untuk kontribusi pekerja untuk program
jaminan hari tua.
Juga timbul pertanyaan atas
rencana pemerintah untuk menyubsidi kepesertaan masyarakat yang masuk kategori
kurang mampu. Menurut UU ini, warga negara Indonesia yang mempunyai pendapatan
dibawah UMR daerah mereka akan dikategorikan sebagai warga yang pendapatannya
kurang, dengan demikian berhak mendapat subsidi dari pemerintah. Namun, masih
banyak warga negara kita yang mempunyai pendapatan di bawah UMR setempat,
terutama mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Apabila terlalu banyak
penduduk Indonesia berhak menerima subsidi ini, maka anggaran belanja pemerintah
(APBN) dapat mengalami defisit, dan hal ini akan mengancam kelanjutan program Jamsosnas ini di masa depan.
Hal Iain yang harus menjadi
perhatian pemerintah dalam mewujudkan SJSN terkait hal pelayanan kesehatan
adalah masalah distribusi tenaga medis dan pengawasan. Distribusi tenaga medis
harus sudah mulai disiapkan dari sekarang, sehingga sebagai salah satu pilar
pelaksana program ini telah tersedia saat SJSN operasional.
Program ini juga kurang
memperhatikan permasalahan penuaan populasi yang diperkirakan akan mulai
terjadi di Indonesia dalam beberapa dekade mendatang. Perkiraan demografis
menunjukkan bahwa populasi Indonesia usia 55 tahun keatas akan meningkat secara
drastis dalam beberapa dekade berikut, dari sekitar 10% dari seluruh penduduk
pada tahun 2000 menjadi sekitar 30% dari seluruh penduduk pada tahun 2050.
Kombinasi antara usia pensiun yang
relatif muda (55-58 tahun), jumlah waktu kerja yang relatif singkat
sebelum berhak mendapat pensiun penuh
(10 tahun) dan sebuah populasi yang menua dengan cukup drastis merupakan
situasi yang kurang menguntungkan untuk program pensiun publik manapun. Jika
kurang berhati-hati dalam hal ini, program Jamsosnas akan mengalami nasib yang sama
dengan program pensiun publik lainnya di dunia karena menjadi tidak sustainable
secara finansial.
Terakhir, program Jamsosnas juga kurang memperhatikan peran
kompetisi dalam penyediaan manfaat jaminan sosial di Indonesia, karena menurut
UU ini, hal tersebut menjadi tanggungjawab tunggal pemerintah. Hal ini tetap
ditempuh meskipun sebagian besar pekerja sektor formal telah memperoleh jaminan
kesehatan dan jaminan hari tua cukup baik dari perusahaan tempat mereka
bekerja. Dengan adanya monopoli ini, pekerja mungkin dapat kehilangan jaminan
kesehatan dan jaminan hari tua yang diperoleh mereka sebelumnya, yang mungkin
manfaatnya lebih besar daripada manfaat program Jamsosnas. Pengalaman dari
banyak negara lain di dunia (terutama negara-negara Eropa dan Amerika Latin)
yang mempunyai program jaminan sosial
sangat komprehensif untuk warganegaranya menunjukkan bahwa program
jaminan sosial yang diselenggarakan oleh pemerintah sering mengalami kegagalan,
karena adanya perubahan demografis penduduk, manfaat program yang terlalu besar
dan membahayakan kesinambungan fiskal
anggaran pemerintah, dan tata kelola
program yang kurang baik. Beberapa negara (contohnya: Chile, Meksiko,
Polandia, Inggris, Swedia, dan Australia) yang telah menempuh jalur alternatif
lain dalam menyelenggarakan program jaminan sosial di negara mereka, terutama
melalui jalur reformasi program jaminan sosial nasionalnya.
Jaminan sosial bagi seluruh warga merupakan suatu tanggung
jawab pemerintah untuk menjaminnya. Jaminan ini adalah hak bagi setiap warga
negara untuk mendapatkannya tanpa diskriminasi, sehingga memungkinkan
pengembangan diri secara utuh sebagai manusia yang bermartabat, seperti yang
diamanatkan dalam pasal 28 H ayat 3 UUD 1945. Hal tersebut diharapkan dapat
meningkatkan indeks pembangunan masyarakat Indonesia kedepannya.
Untuk itu dalam menjalankan amanat undang-undang tersebut
dan dalam rangka upaya memberikan
jaminan sosial kepada setiap warga negara, maka pemerintah menganggap perlu
diadakan suatu sistem yang mengendalikannya yaitu Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN).
Undang-undang tentang SJSN
diharapkan mampu menggantikan peran program-program jaminan sosial yang telah
ada sebelumnya (Askes, Jamsostek, Taspen, dan Asabri) yang dinilai kurang
berhasil memberikan manfaat yang berarti kepada penggunanya, hal ini disebabkan
antara lain karena jumlah pesertanya kurang, jumlah nilai manfaat program
kurang memadai, dan kurang baiknya tata kelola manajemen program tersebut.
Dengan mengetahui informasi
tentang mekanisme SJSN, manfaat yang dapat diperoleh, serta dampak yang mungkin
dapat ditimbulkan. Sangat disarankan agar pemerintah dapat menyusun strategi
dan langkah tepat dalam rangka mempercepat proses realisasi Program SJSN yang
seyogyanya dilaksanakan paling lambat lima tahun setelah UU tersebut
diundangkan oleh DPR, atau semestinya sudah harus terealisasi pada kurun waktu
2009 - 2010. Awal tahun ini (tahun 2011, red) merupakan kesempatan untuk
melakukan koreksi dan pengkajian lebih mendalam tentang SJSN, sekaligus sebagai
dorongan motivasi bagi pemerintah untuk lebih proaktif dalam memberikan solusi terbaik
bagi pelaksanaan SJSN kedepan termasuk upaya meminimalisir dampak negatif dari
program tersebut, sehingga diharapkan mampu memberi manfaat yang berarti dalam
bidang jaminan sosial bagi rakyat Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar