Mulai awal Agustus ini, semua mobil
dinas instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN),
Dan badan usaha milik daerah (BUMD) di seluruh wilayah di Jawa-Bali dilarang
memakai bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Wajib menggunakan BBM nonsubsidi.
Kebijakan tersebut merupakan
implementasi dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12
Tahun 2012, tentang pengendalian penggunaan BBM dengan tujuan menekan konsumsi
BBM bersubsidi. Ditekankan, pemerintah membatasi konsumsi BBM bersubsidi untuk
kendaraan dinas milik pemerintah, BUMN, dan BUMD di Jawa-Bali yang efektif
mulai 1 Agustus 2012.
Hal itu sebagai kelanjutan pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas di Jakarta, Bogor, Depok,
Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi yang dilaksanakan sejak awal Juni
lalu. Semua mobil dinas dipasangi stiker oranye bertuliskan BBM nonsubsidi
untuk memudahkan pengawasan petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Tentu implementasi kebijakan dengan
cakupan wilayah lebih luas tidak semudah penerapan dalam lingkup terbatas di
Jabodetabek. Jumlah stiker yang dibutuhkan untuk kendaraan dinas di Jawa-Bali
diperkirakan 100.000 stiker. Sosialisasi program pun mesti dilakukan secara
intensif di setiap daerah untuk menjamin program dipahami dan diimplementasikan
di lapangan.
Selain itu, perlu ada petunjuk
pelaksanaan teknis dan sanksi jelas agar kebijakan itu tidak menimbulkan dampak
negatif pada kinerja operasional dan anggaran negara. Jangan sampai kebijakan
itu membuat biaya operasional membengkak bisa juga berdampak pada penurunan
kinerja operasional.
PT Pertamina (Persero) menyokong
kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Hal ini seiring dengan
meningkatnya jumlah SPBU yang menjual pertamax. Per Juni lalu, jumlah SPBU
Pertamina di Jawa-Bali berjumlah 3.083 unit. Sebanyak 2.107 unit SPBU menjual
pertamax, 697 unit SPBU berpotensi pengalihan tangki pendam dari premium ke
pertamax, dan 279 unit SPBU memerlukan investasi baru.
Dengan penerapan kebijakan itu di
Jawa-Bali, realisasi konsumsi pertamax diharapkan bisa meningkat dengan harga yang
cenderung stabil. Setelah pembatasan BBM bersubsidi di Jabodetabek, konsumsi
pertamax naik 16 persen pada Juni 2012 dibandingkan konsumsi pertamax Mei lalu
yang turun 2,1 persen.
Jelas kebijakan tersebut tidak
memiliki dampak yang signifikan terhadap konsumsi premium mengingat instrumen
pembatasan yang diterapkan lingkupnya terbatas. Jika berjalan pun, volume BBM
bersubsidi yang bisa dihemat hanya 1 juta kiloliter. Padahal, seiring pesatnya
pertumbuhan jumlah kendaraan, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini diperkirakan 44
juta kiloliter. Jauh di atas kuota APBN Perubahan 2012 sebesar 40 juta
kiloliter.
Data Pertamina menyebutkan, realisasi
penyaluran BBM bersubsidi secara nasional pada semester pertama 2012 mencapai
109,4 persen atas kuota APBN Perubahan 2012 dengan total volume 21,7 juta
kiloliter. DKI Jakarta mengalami kelebihan kuota premium 38 persen, disusul
Jawa Barat 21 persen.
Kondisi itu terjadi lantaran
kebijakan pelarangan konsumsi BBM bersubsidi bagi kendaraan dinas tidak
menyentuh akar masalah, tetapi lebih pada pencitraan bahwa pemerintah telah
berupaya untuk menghemat BBM bersubsidi. Semestinya pemerintah membuat terobosan
kebijakan dengan solusi efektif dalam mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi.
Di Kabupaten Banyuwangi, pembatasan
konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil dinas disikapi dengan menaikkan anggaran
operasional kendaraan. Kenaikan anggaran yang rencananya akan diajukan dalam
rapat perubahan APBD Banyuwangi sebesar Rp2 miliar itu menuai banyak kecaman
dari lembaga swadaya masyarakat karena dianggap membebani rakyat.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi, Djuang Pribadi, mengakui, “Kemungkinan anggaran
operasional tetap akan membengkak karena harga pertamax dua kali lipat dari
harga premium.” Di Banyuwangi sedikitnya ada 235 kendaraan dinas roda empat
berbahan bakar premium dan 44 kendaraan dinas berbahan bakar solar. Konsumsi
BBM untuk kendaraan-kendaraan itu mencapai 60.000 liter atau sekitar Rp3,5
miliar setahun. Jika usulan kenaikan anggaran operasional kendaraan disetujui,
total pengeluaran untuk BBM akan mencapai Rp5,5 miliar setahun.
Jika pemerintah pusat telah
menetapkan kebijakan penggunaan BBM nonsubsidi bagi kendaraan dinas di
Jawa-Bali, lain halnya di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang telah
memberlakukan kebijakan tersebut sejak Juni lalu sebagai bentuk dukungan
pemerintah kota terhadap kebijakan pemerintah pusat. Wali Kota Palangkaraya,
Riban Satia, menuturkan, “Kendaraan dinas Pemerintah Kota Palangkaraya dilarang
menggunakan BBM bersubsidi, mulai sepeda motor hingga mobil harus menggunakan
BBM nonsubsidi.”
Sedangkan di tingkat provinsi, Gubernur
Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustin Teras Narang, Kamis (2/8) di Palangkaraya,
menegaskan, “Beberapa kepala daerah di Kalteng sudah memerintahkan pejabat yang
menggunakan mobil dinas untuk mengonsumsi BBM nonsubsidi.” Gubernur Agustin
Narang mengatakan sudah memerintahkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD)
Kalteng untuk berhemat. Agustin Narang menambahkan, “Mobil dinas jangan dipakai
tidak keruan karena itu untuk kepentingan rakyat.”
Rakyat Indonesia mungkin merasa lega
dengan kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil
dinas pejabat pemerintah, BUMD, dan BUMN. Kebijakan tersebut merupakan bukti
nyata dari upaya pemerintah yang bertujuan untuk menghemat penggunaan BBM
bersubsidi bagi mobil dinas pejabat yang seyogianya tidak berhak menerima
subsidi negara. Tentu sangat tidak adil bagi masyarakat ekonomi lemah, jika
subsidi negara lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh para pejabat daripada
masyarakat miskin yang justru sangat membutuhkan bantuan berupa subsidi
pemerintah. Namun, jika melihat implementasi dari kebijakan tersebut yang
diiringi dengan naiknya anggaran operasional kendaraan dinas, bukankah hasilnya
sama saja? Walaupun anggaran subsidi BBM bisa dikurangi, tapi anggaran
operasional di daerah justru meningkat. Sungguh ironis memang, saat pemerintah
pusat memiliki niat baik dengan mengeluarkan kebijakan yang ternyata tidak
cukup bijak.
Selain itu, sistem pelarangan
penggunaan BBM bersubsidi masih perlu pengawasan yang super ketat. Karena tidak
menutup kemungkinan, ada oknum nakal yang menggunakan BBM bersubsidi yang
dibeli melalui penjual eceran, meskipun harganya lebih mahal dibanding premium
bersubsidi, tetapi tetap lebih murah dibandingkan dengan harga pertamax.
Akhirnya, dana anggaran operasional kendaraan pun tetap dinikmati oleh
segelintir orang, bukan rakyat kecil.
Kebijakan pemerintah sebelumnya yang
terkait dengan BBM bersubsidi ternyata tidak menyentuh akar permasalahan yang
ada. Contoh, di beberapa daerah di Indonesia, pemerintah melarang pembelian
premium secara eceran (melalui jeriken) untuk mencegah kelangkaan premium
menyusul dengan kebijakan pengurangan jatah premium untuk SPBU. Kelangkaan
premium jelas membuka peluang bagi penjual eceran untuk mengakali sistem yang
diberlakukan. Pada akhirnya, tidak ada yang berubah, premium tetap langka,
antrean panjang di SPBU, harga premium eceran yang lebih mahal, dan berbagai
masalah baru yang timbul dari kebijakan pemerintah mengenai BBM bersubsidi.
Apapun kebijakannya, menurut hemat
saya tetap tidak akan sejalan dengan tujuan yang diharapkan selama fokus
pemerintah bukan pada akar masalahnya. Coba pikir, harga minyak dunia melambung
tinggi bahkan pernah menembus $100 per barel, diiringi dengan jumlah kendaraan
di Indonesia yang kian bertambah setiap tahun, serta kebutuhan industri dan
rumah tangga akan BBM yang tidak bisa dibendung. Pengurangan pemakaian BBM
bersubsidi untuk mobil dinas jelas bukan solusi, toh anggaran operasional
kendaraan juga membengkak. Pengurangan jatah BBM bersubsidi untuk SPBU? Yang
benar sajalah, malah yang ada kelangkaan dan antre panjang di SPBU walaupun
hikmahnya adalah tambahan pendapatan bagi penjual premium eceran dan kerugian
bagi pemilik kendaraan yang tidak mendapatkan BBM di SPBU.
Kebijakan itu mestinya dibuat dengan
pandangan yang jauh ke depan, satu dua langkah ke depan belum cukup kalau
seratus langkah ke depan mungkin. Bukankah banyak orang cerdas di Indonesia?
Terus ngapain juga politisi yang buat kebijakannya? Malah yang terjadi sekarang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, cek aja di media nyatanya masih ada mobil dinas pemerintah di Jawa-Bali yang mengabaikan larangan penggunaan BBM bersubsidi.
Saya rasa cukup sekian artikel kali
ini, selain sudah lelah nulis juga sudah lelah mengkritik pemerintah. Kritik
tanpa solusi adalah kritik yang tiada guna, mau kasih solusi juga percuma toh
pemerintahnya keras kepala. Apalagi kalau rakyat biasa macam saya, dipandang
pun tidak apalagi didengar, ya ngga? Gini nih orang pesimis, haha biarin.
Baca Artikel Lainnya:
Nasional
Info
- Info Seputar Air Zam-Zam
- Sekilas Tentang Google Drive
- Cara Berhenti Berpikir Negatif
- Trik Matematika: Menebak Tanggal Lahir
- Chatting Menggunakan Yahoo! Messenger
- Panduan Cara Menulis Artikel di Blogspot
- Pemerintah Cina Larang Muslim Uighur Puasa
- Perbedaan Antara Penembak Jitu dengan Sniper
- Kota Pendidikan Terbaik Dunia Tahun 2012
- Pemilu Serentak Lebih Efisien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar