Kamis, 23 Agustus 2012

Mobil Dinas Dilarang Pakai BBM Bersubsidi

Mulai awal Agustus ini, semua mobil dinas instansi pemerintah pusat, pemerintah daerah, badan usaha milik negara (BUMN), Dan badan usaha milik daerah (BUMD) di seluruh wilayah di Jawa-Bali dilarang memakai bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi. Wajib menggunakan BBM nonsubsidi.

Kebijakan tersebut merupakan implementasi dari Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 12 Tahun 2012, tentang pengendalian penggunaan BBM dengan tujuan menekan konsumsi BBM bersubsidi. Ditekankan, pemerintah membatasi konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas milik pemerintah, BUMN, dan BUMD di Jawa-Bali yang efektif mulai 1 Agustus 2012.
Hal itu sebagai kelanjutan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi untuk kendaraan dinas di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Tangerang Selatan, dan Bekasi yang dilaksanakan sejak awal Juni lalu. Semua mobil dinas dipasangi stiker oranye bertuliskan BBM nonsubsidi untuk memudahkan pengawasan petugas stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU).
Tentu implementasi kebijakan dengan cakupan wilayah lebih luas tidak semudah penerapan dalam lingkup terbatas di Jabodetabek. Jumlah stiker yang dibutuhkan untuk kendaraan dinas di Jawa-Bali diperkirakan 100.000 stiker. Sosialisasi program pun mesti dilakukan secara intensif di setiap daerah untuk menjamin program dipahami dan diimplementasikan di lapangan.
Selain itu, perlu ada petunjuk pelaksanaan teknis dan sanksi jelas agar kebijakan itu tidak menimbulkan dampak negatif pada kinerja operasional dan anggaran negara. Jangan sampai kebijakan itu membuat biaya operasional membengkak bisa juga berdampak pada penurunan kinerja operasional.
PT Pertamina (Persero) menyokong kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Hal ini seiring dengan meningkatnya jumlah SPBU yang menjual pertamax. Per Juni lalu, jumlah SPBU Pertamina di Jawa-Bali berjumlah 3.083 unit. Sebanyak 2.107 unit SPBU menjual pertamax, 697 unit SPBU berpotensi pengalihan tangki pendam dari premium ke pertamax, dan 279 unit SPBU memerlukan investasi baru.
Dengan penerapan kebijakan itu di Jawa-Bali, realisasi konsumsi pertamax diharapkan bisa meningkat dengan harga yang cenderung stabil. Setelah pembatasan BBM bersubsidi di Jabodetabek, konsumsi pertamax naik 16 persen pada Juni 2012 dibandingkan konsumsi pertamax Mei lalu yang turun 2,1 persen.
Jelas kebijakan tersebut tidak memiliki dampak yang signifikan terhadap konsumsi premium mengingat instrumen pembatasan yang diterapkan lingkupnya terbatas. Jika berjalan pun, volume BBM bersubsidi yang bisa dihemat hanya 1 juta kiloliter. Padahal, seiring pesatnya pertumbuhan jumlah kendaraan, konsumsi BBM bersubsidi tahun ini diperkirakan 44 juta kiloliter. Jauh di atas kuota APBN Perubahan 2012 sebesar 40 juta kiloliter.
Data Pertamina menyebutkan, realisasi penyaluran BBM bersubsidi secara nasional pada semester pertama 2012 mencapai 109,4 persen atas kuota APBN Perubahan 2012 dengan total volume 21,7 juta kiloliter. DKI Jakarta mengalami kelebihan kuota premium 38 persen, disusul Jawa Barat 21 persen.
Kondisi itu terjadi lantaran kebijakan pelarangan konsumsi BBM bersubsidi bagi kendaraan dinas tidak menyentuh akar masalah, tetapi lebih pada pencitraan bahwa pemerintah telah berupaya untuk menghemat BBM bersubsidi. Semestinya pemerintah membuat terobosan kebijakan dengan solusi efektif dalam mengendalikan konsumsi BBM bersubsidi.
Di Kabupaten Banyuwangi, pembatasan konsumsi BBM bersubsidi bagi mobil dinas disikapi dengan menaikkan anggaran operasional kendaraan. Kenaikan anggaran yang rencananya akan diajukan dalam rapat perubahan APBD Banyuwangi sebesar Rp2 miliar itu menuai banyak kecaman dari lembaga swadaya masyarakat karena dianggap membebani rakyat.
Kepala Bagian Humas dan Protokol Pemerintah Kabupaten Banyuwangi, Djuang Pribadi, mengakui, “Kemungkinan anggaran operasional tetap akan membengkak karena harga pertamax dua kali lipat dari harga premium.” Di Banyuwangi sedikitnya ada 235 kendaraan dinas roda empat berbahan bakar premium dan 44 kendaraan dinas berbahan bakar solar. Konsumsi BBM untuk kendaraan-kendaraan itu mencapai 60.000 liter atau sekitar Rp3,5 miliar setahun. Jika usulan kenaikan anggaran operasional kendaraan disetujui, total pengeluaran untuk BBM akan mencapai Rp5,5 miliar setahun.
Jika pemerintah pusat telah menetapkan kebijakan penggunaan BBM nonsubsidi bagi kendaraan dinas di Jawa-Bali, lain halnya di Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, yang telah memberlakukan kebijakan tersebut sejak Juni lalu sebagai bentuk dukungan pemerintah kota terhadap kebijakan pemerintah pusat. Wali Kota Palangkaraya, Riban Satia, menuturkan, “Kendaraan dinas Pemerintah Kota Palangkaraya dilarang menggunakan BBM bersubsidi, mulai sepeda motor hingga mobil harus menggunakan BBM nonsubsidi.”
Sedangkan di tingkat provinsi, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng), Agustin Teras Narang, Kamis (2/8) di Palangkaraya, menegaskan, “Beberapa kepala daerah di Kalteng sudah memerintahkan pejabat yang menggunakan mobil dinas untuk mengonsumsi BBM nonsubsidi.” Gubernur Agustin Narang mengatakan sudah memerintahkan satuan kerja perangkat daerah (SKPD) Kalteng untuk berhemat. Agustin Narang menambahkan, “Mobil dinas jangan dipakai tidak keruan karena itu untuk kepentingan rakyat.”
Rakyat Indonesia mungkin merasa lega dengan kebijakan pemerintah yang melarang penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil dinas pejabat pemerintah, BUMD, dan BUMN. Kebijakan tersebut merupakan bukti nyata dari upaya pemerintah yang bertujuan untuk menghemat penggunaan BBM bersubsidi bagi mobil dinas pejabat yang seyogianya tidak berhak menerima subsidi negara. Tentu sangat tidak adil bagi masyarakat ekonomi lemah, jika subsidi negara lebih banyak dirasakan manfaatnya oleh para pejabat daripada masyarakat miskin yang justru sangat membutuhkan bantuan berupa subsidi pemerintah. Namun, jika melihat implementasi dari kebijakan tersebut yang diiringi dengan naiknya anggaran operasional kendaraan dinas, bukankah hasilnya sama saja? Walaupun anggaran subsidi BBM bisa dikurangi, tapi anggaran operasional di daerah justru meningkat. Sungguh ironis memang, saat pemerintah pusat memiliki niat baik dengan mengeluarkan kebijakan yang ternyata tidak cukup bijak.
Selain itu, sistem pelarangan penggunaan BBM bersubsidi masih perlu pengawasan yang super ketat. Karena tidak menutup kemungkinan, ada oknum nakal yang menggunakan BBM bersubsidi yang dibeli melalui penjual eceran, meskipun harganya lebih mahal dibanding premium bersubsidi, tetapi tetap lebih murah dibandingkan dengan harga pertamax. Akhirnya, dana anggaran operasional kendaraan pun tetap dinikmati oleh segelintir orang, bukan rakyat kecil.
Kebijakan pemerintah sebelumnya yang terkait dengan BBM bersubsidi ternyata tidak menyentuh akar permasalahan yang ada. Contoh, di beberapa daerah di Indonesia, pemerintah melarang pembelian premium secara eceran (melalui jeriken) untuk mencegah kelangkaan premium menyusul dengan kebijakan pengurangan jatah premium untuk SPBU. Kelangkaan premium jelas membuka peluang bagi penjual eceran untuk mengakali sistem yang diberlakukan. Pada akhirnya, tidak ada yang berubah, premium tetap langka, antrean panjang di SPBU, harga premium eceran yang lebih mahal, dan berbagai masalah baru yang timbul dari kebijakan pemerintah mengenai BBM bersubsidi.
Apapun kebijakannya, menurut hemat saya tetap tidak akan sejalan dengan tujuan yang diharapkan selama fokus pemerintah bukan pada akar masalahnya. Coba pikir, harga minyak dunia melambung tinggi bahkan pernah menembus $100 per barel, diiringi dengan jumlah kendaraan di Indonesia yang kian bertambah setiap tahun, serta kebutuhan industri dan rumah tangga akan BBM yang tidak bisa dibendung. Pengurangan pemakaian BBM bersubsidi untuk mobil dinas jelas bukan solusi, toh anggaran operasional kendaraan juga membengkak. Pengurangan jatah BBM bersubsidi untuk SPBU? Yang benar sajalah, malah yang ada kelangkaan dan antre panjang di SPBU walaupun hikmahnya adalah tambahan pendapatan bagi penjual premium eceran dan kerugian bagi pemilik kendaraan yang tidak mendapatkan BBM di SPBU.
Kebijakan itu mestinya dibuat dengan pandangan yang jauh ke depan, satu dua langkah ke depan belum cukup kalau seratus langkah ke depan mungkin. Bukankah banyak orang cerdas di Indonesia? Terus ngapain juga politisi yang buat kebijakannya? Malah yang terjadi sekarang tidak jauh berbeda dengan sebelumnya, cek aja di media nyatanya masih ada mobil dinas pemerintah di Jawa-Bali yang mengabaikan larangan penggunaan BBM bersubsidi.
Saya rasa cukup sekian artikel kali ini, selain sudah lelah nulis juga sudah lelah mengkritik pemerintah. Kritik tanpa solusi adalah kritik yang tiada guna, mau kasih solusi juga percuma toh pemerintahnya keras kepala. Apalagi kalau rakyat biasa macam saya, dipandang pun tidak apalagi didengar, ya ngga? Gini nih orang pesimis, haha biarin. 

Baca Artikel Lainnya:

Tidak ada komentar: